Oleh : Naufal Hariz Imaduddin/4TB05/27314854
Kritik Arsitektur
merupakan salah satu mata kuliah yang dipelajari di bangku jurusan teknik
arsitektur Universitas Gunadarma. Mata kuliah ini sangat penting, karena dapat
melatih kepekaan seorang arsitek dengan keadaan lingkungan sekitarnya,
terkhusus dalam dunia arsitektural. Saking pentingnya, salah satu biro arsitek
yang di kelola oleh arsitek terkenal, Andi Rahman, mengharuskan setiap orang
yang ingin bekerja pada biro konsultan beliau untuk mengkritisi sebuah bangunan
secara spontan.
Banyak sekali
Arsitek-arsitek pemula yang lebih mengutamakan mengasah kemampuan software,
namun jarang kita temukan sebagian dari mereka yang mengutamakan ketajaman pola
pikir dan kepekaan mereka terhadap isu yang berkembang dari dunia arsitektural.
Menurut Kafi Pangestu, salah satu alumni Arsitektur Universitas Gunadarma,
Kritik Arsitektur merupakan mata kuliah penting yang dipinggirkan. Bagaimana
tidak? Mata kuliah ini hanya memiliki pertemuan sebulan sekali.
Untuk itu penulis
disini mencoba mengkritisi bangunan yang ada di sekitar terlebih dahulu sebagai
permulaan pembelajaran kritik arsitektur.
Kampus F5 adalah salah satu kampus dari
Universitas Gunadarma Depok yang berlokasi di Jalan Kapuk, Margonda. Sebagaimana
mestinya bangunan pendidikan, kampus ini menyediakan sarana dan prasarana yang
menunjang setiap kegiatan pembelajaran di bangku perkuliahan. Namun jika kita
perhatikan, ada beberapa hal yang perlu dikritisi mengenai kampus F5 dari sudut
pandang arsitektural. Beberapa hal tersebut adalah :
1.
Wajah Kampus F5
Sebuah bangunan yang baik, akan tercermin
identitasnya dan peruntukan bangunan tersebut dari perwajahannya. Fasad,
merupakan hal penting karena fasad menampilkan kesan pertama yang akan dilihat
oleh manusia sekitar dan menjadi tolak ukur penilaian pertama dari seorang
Arsitek. Kampus F5 berlokasi yang memiliki kontur yang cukup landai sehingga
dapat dimanfaatkan sebagai penampilannya yang khas.
Sayangnya kita masih belum bisa menemukan ciri
khas yang mencerminkan kampus F5 sebagai lokasi pendidikan tinggi. Belum adanya
plang bertuliskan “Universitas Gunadarma” cukup membuat orang yang pertama kali
datang bingung. Fasad dari kampus ini pun didominasi hanya dengan dinding
ekspos. Namun, dengan adanya batuan ekspos sebagai fasad bagian bawah cukup
memberikan estetika yang baik sebagai permulaan kesan alami yang diberikan
secara visual.
Fasad
dari area dalam kampus pun demikian. Minimalis dan simpel kesan yang pertama
kali penulis rasakan. Terlihat dari fasad yang didominasi dengan dinding ekspos
dan railing di setiap
lantainya.
Namun
untuk pemilihan warna yang diaplikasikan pada bangunan ini menurut penulis
cukup baik. Warna soft cukup nyaman dipandang dan tidak menimbulkan kesan mencolok
pada bangunan yang berdiri di tengah perkampungan Depok. Sehingga bangunan ini
cukup beradaptasi dengan konteks yang ada di sekitarnya.
2.
Area Parkir
Ketika
memasuki kampus, bagi pengguna yang membawa kendaraan akan langsung berhadapan
dengan ramp yang cukup landai. Kendaraan langsung melakukan manuver ke kiri 90
derajat untuk menuju ke area parkir. Hal ini tidak menjadi masalah ketika motor
yang melaluinya. Namun cukup menjadi masalah bagi mobil. Selain karena
sempitnya jalan, fillet yang diberikan cukup sempit. Untuk itu, problem
solving yang diberikan pihak kampus adalah dengan menjadikan area parkir dalam
sebagai area parkir motor, sedangkan mobil diberikan lahan parkir di pinggir
kampus bagian luar.
Hal
ini dirasa sudah menyelesaikan permasalahan, namun penyelesaian ini justru
menunjukkan kekurangan perhatian arsitek terhadap kebutuhan bangunan pendidikan
tinggi yang notabenenya membutuhkan lahan parkir yang luas.
Bahkan setelah adanya pembedaan pada area parkir,
parkiran motor pun masih kurang karena banyaknya motor yang digunakan oleh
pengguna kampus. Tidak adanya perbedaan baik berupa garis batas ataupun
material antara area parkir dengan jalan eksisting parkir membuat area parkir
menjadi tidak beraturan. Selagi masih bisa ditampung maka kendaraan motor akan
tertampung sedemikian rupa walaupun tidak beraturan.
3.
Mushola
Adanya
mushola merupakan alternatif fasilitas peribadatan umat Islam pada suatu
bangunan jika dirasa masjid sekitar berada pada jarak radius yang cukup jauh.
Nyatanya masjid sekitar kampus masih sangat dekat, kurang lebih berjarak
sekitar 20 meter dari kampus. Namun mushola masih menjadi alternatif bagi
petugas keamanan melaksanakan ibadah agar tidak pergi terlalu jauh dari area
tugasnya.
Namun
beberapa hal yang perlu dikritisi dari fasilitas mushola kampus ini. Tempat
mushola ini terkesan ditempatkan pada area sisa dari kampus. Bagaimana tidak,
mushola berada di area lobby parkiran motor. Suara bising motor, asap rokok,
dan berisiknya obrolan mahasiswa di area parkir dan lobby sangat mengganggu
kekhusyukan sholat. Padahal notabenenya kita melaksanakan peribadahan agar
dapat merasa tenang ketika kita berada dalam proses ibadah.
Sebelum
memulai sholat, seorang Muslim diharuskan untuk bersuci agar terhindar dari
najis. Tempat wudhu merupakan bagian yang sangat perlu diperhatikan ketika
mendesain area ibadah umat muslim. Nyatanya, tempat wudhu dari mushola “sisaan”
ini berada di seberang mushola, yaitu ketika seseorang mau berwudhu dia harus
mengambil air wudhu dengan melewati area pakir motor meggunakan sendal yang
disediakan. Area wudhu pun turun menjorok ke arah sungai dan hanya menggunakan
material pijak berupa perkerasan semen.
Axis
kiblat semakin menunjukkan tidak perhatiannya arsitek terhadap fasilitas
mushola kampus. Axis kampus menmbuat kiblat menjadi miring ke kiri. Mudah saja
hanya dengan memutar sajadah, namun apa bedanya dengan bangunan non arsitek
jika penyelesaiannya hanya stop sampai disitu?
desain interior pada mushola juga
menunjukkan tidak didesainnya mushola seperti ruangan-ruangan lainnya. Jika
perhatian terhadap area intimasi terhadap Tuhannya saja tidak diperhatikan,
maka bagaimana hubungan arsitek dengan Tuhannya?
4. Lobby
penerimaan area parkir
Lobby ini memiliki ketinggian
yang cukup baik, sehingga ruangan terkesan luas. Desain tangga dengan letter L
menambah keapikkan pada ruangan.
Ruangan seluas kurang lebih 4 x 5
meter tersebut sayangnya tidak termanfaatkan dengan baik. Ruang ini lebih sering
kosong. Entah program ruang apa yang direncanakan oleh si arsitek untuk ruang
ini.
5. Railing
Kita sempat menyinggung railing
pada pembahasan fasad, karena railing cukup mendominasi sebagai perwajahan
kampus F5. Dari lobby penerima kita naik keatas, tidak ada masalah dengan
railing yang ada di tangga. Ketika memasuki lantai pertama, pertanyaan muncul.
Mengapa railingnya begitu tinggi?
Railing biasanya didesain dengan
tinggi 0.8 – 1.1 meter, namun pada kampus F5 railing di desain dengan tinggi
kurang lebih 1,65 meter, sehingga cukup mengganggu view. Namun walau begitu,
railing terkesan kokoh dengan menggunakan hollow dan tidak terkesan berat
dengan adanya celah-celah. Railing mampu membuat shading effect yang
indah ketika paparan cahaya matahari menerpanya.
6. Toilet
Bangunan dengan 6 lantai seperti
F5, yang memiliki hiruk pikuk suasana kampus, yang memiliki pengguna atau civitas
yang sangat banyak, ternyata hanya memiliki 2 toilet saja yang hanya bisa kita
temukan di lantai 2. Itu pun 1 toilet dikhususkan untuk dosen dan para petinggi
kampus. Maka hanya tersisa satu toilet yang bebas gender apa saja yang
menggunakannya.
Menurut saya ini adalah problem
yang sangat krusial. Bagaimana tidak, toilet yang merupakan kebutuhan setiap
orang justru wadahnya tidak mendukung. Gender wanita memiliki privasi yang
tinggi untuk urusan ini, namun toilet yang ada tidak menyediakan kebutuhannya.
Baik pria maupun wanita menunggu antrian toilet di tempat yang sama.
Bahkan dalam segi utilitas, air
yang digunakan sebagai pembersih kotoran pun tidak tersedia dengan baik. Air
yang keluar cenderung keruh dan tombol kloset untuk menyiram kloset pun tidak
bekerja dengan baik.
7. Sirkulasi
Vertikal
Kampus F5 merupakan bangunan
tinggi dengan 6 lantai. Pengguna kampus tidaklah semua memiliki tubuh yang fit
dan bugar sebagaimana mahasiswa pada umumnya yang mayoritas masih muda.
Beberapa terdapat dosen yang sudah tua dan beberapa pengguna yang sulit
melakukan aktifitas berjalan dengan mudah.
Dengan tingginya bangunan dan
kebutuhan pengguna terhadap sirkulasi vertikal, seharusnya kampus ini sudah
dapat menyediakan lift minimal bagi yang membutuhkan.
Diatas
merupakan kritik yang penulis lakukan, semata-mata bukan untuk menjatuhkan
arsitek itu sendiri, melainkan hanya sebagai pembelajaran. Tulisan diatas
sangat banyak kekurangan menunjukkan tidaklah penulis lebih baik dari arsitek
desainernya. Jika ada salah kata mohon dimaafkan, kritik dan saran sangat
diterima oleh penulis.