Jumat, 11 Mei 2018

Hagia Sophia


Hagia Sophia atau Aya Sofya (dari bahasa Yunani: Ἁγία Σοφία Bizantium Yunani [aˈʝia soˈfia]; bahasa Latin: Sancta Sophia atau Sancta Sapientia; bahasa Arab: آيا صوفيا; "Kebijaksanaan Suci") adalah sebuah bangunan bekas basilika, masjid, dan sekarang museum, di Istanbul, Republik Turki. Dari masa pembangunannya di tahun 537 M sampai 1453 M, bangunan ini merupakan katedral Ortodoks dan tempat kedudukan Patriark Ekumenis Konstantinopel, kecuali pada tahun 1204 sampai 1261, ketika tempat ini diubah oleh Pasukan Salib Keempat menjadi Katedral Katolik Roma di bawah kekuasaan Kekaisaran Latin Konstantinopel. Bangunan ini menjadi masjid mulai 29 Mei 1453 sampai 1931 pada masa kekuasaan Kesultanan Utsmani. Kemudian bangunan ini disekulerkan dan dibuka sebagai museum pada 1 Februari 1935 oleh Republik Turki.

Terkenal akan kubah besarnya, Hagia Sophia dipandang sebagai lambang arsitektur Bizantium dan dikatakan "telah mengubah sejarah arsitektur." Bangunan ini tetap menjadi katedral terbesar di dunia selama hampir seribu tahun sampai Katedral Sevilla diselesaikan pada tahun 1520.
Bangunan yang sekarang ini awalnya dibangun sebagai sebuah gereja antara tahun 532-537 atas perintah Kaisar Rowami Timur Yustinianus I dan merupakan Gereja Kebijaksanaan Suci ketiga yang dibangun di tanah yang sama, dua bangunan sebelumnya telah hancur karena kerusuhan. Bangunan ini didesain oleh ahli ukur Yunani, Isidore dari Miletus dan Anthemius dari Tralles.


Gereja ini dipersembahkan kepada Kebijaksanaan Tuhan, sang Logos, pribadi kedua dari Trinitas Suci, pesta peringatannya diadakan setiap 25 Desember untuk memperingati kelahiran dari inkarnasi Logos dalam diri Kristus. Walaupun sesekali disebut sebagai Sancta Sophia (seolah dinamai dari Santa Sophia), sophia sebenarnya pelafalan fonetis Latin dari kata Yunani untuk kebijaksanaan. Nama lengkapnya dalam bahasa Yunani adalah Ναὸς τῆς Ἁγίας τοῦ Θεοῦ Σοφίας, Naos tēs Hagias tou Theou Sophias, "Tempat Peziarahan Kebijaksaan Suci Tuhan".

Pada 1453 M, Konstantinopel ditaklukkan oleh Turki Utsmani di bawah kepemimpinan Sultan Mehmed II, yang kemudian memerintahkan pengubahan gereja utama Kristen Ortodoks menjadi masjid. Walaupun saat itu gereja dalam keadaan rusak, bangunan ini memberi kesan yang kuat pada penguasa Utsmani baru dan memutuskan untuk mengubahnya menjadi masjid. Berbagai lambang Kristen seperti lonceng, gambar, dan mosaik yang menggambarkan Yesus, Maria, orang-orang suci Kristen, dan para malaikat dihilangkan atau ditutup. Berbagai atribut Keislaman seperti mihrab, minbar, dan empat menara, ditambahkan. Aya Sofya tetap bertahan sebagai masjid sampai tahun 1931 M. Kemudian bangunan ini ditutup bagi umum oleh pemerintah Republik Turki dan dibuka kembali sebagai museum empat tahun setelahnya pada 1935. Pada tahun 2014, Aya Sofya menjadi museum kedua di Turki yang paling banyak dikunjungi, menarik hampir 3,3 juta wisatawan per tahun. 


Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Kementerian Budaya dan Pariwisata Turki, Aya Sofya merupakan tempat di Turki yang paling menarik perhatian wisatawan pada 2015.
Dari pengubahan awal bangunan ini menjadi masjid sampai pembangunan Masjid Sultan Ahmed (juga dikenal dengan Masjid Biru) pada 1616, Aya Sofya merupakan masjid utama di Istanbul. Arsitektur Bizantium pada Aya Sofya mengilhami banyak masjid Utsmani, seperti Masjid Biru, Masjid Şehzade (Masjid Pangeran), Masjid Süleymaniye, Masjid Rüstem Pasha, dan Masjid Kılıç Ali Pasha.


Gereja Pertama
Gereja pertama yang dibangun pada tanah tersebut dikenal sebagai Μεγάλη Ἐκκλησία (Megálē Ekklēsíā, "Gereja Agung"), atau dalam bahasa Latin "Magna Ecclesia", dikarenakan ukurannya yang sangat besar bila dibandingkan dengan gereja saat itu di kota Konstantinopel.[6] Gereja ini diresmikan pada 15 Februari 360 pada masa pemerintahan Kaisar Konstantius II oleh Uskup Arian, Eudoxius dari Antiokia, didirikan di sebelah tempat istana kekaisaran dibangun. Gereja Hagia Eirene (secara harfiah bermakna "Kedamaian Suci") di dekatnya telah diselesaikan terlebih dahulu sebelum Gereja Agung selesai. Kedua gereja ini berperan sebagai gereja utama dari Kekaisaran Romawi Timur.


Menulis pada 440, Sokrates dari Konstantinopel mengklaim bahwa gereja ini dibangun oleh Konstantius II, yang mengerjakannya di tahun 346. Tradisi yang tidak lebih tua dari abad ke-7 melaporkan bahwa bangunan ini dibangun oleh Konstantinus Agung. Zonaras mendamaikan kedua pendapat tersebut, menulis bahwa Konstantius telah memperbaiki bangunan yang telah dikuduskan oleh Eusebius dari Nikomedia ini, setelah keruntuhannya. Karena Eusebius menjadi uskup Konstantinopel pada 339-341, dan Konstantinus meninggal pada 337, tampaknya mungkin saja bahwa gereja pertama ini didirikan oleh Konstantinus. Bangunan ini dibangun sebagai sebuah basilika bertiang Latin tradisional dengan berbagai galeri dan atap kayu, didahului dengan sebuah atrium. Bangunan ini diklaim sebagai salah satu monumen yang paling menonjol di dunia pada saat itu.


Patriark Konstantinopel Yohanes Krisostomus terlibat perselisihan dengan Permaisuri Aelia Eudoxia, istri dari Kaisar Arcadius, dan diasingkan pada 20 Juni 404. Pada kerusuhan berikutnya, gereja pertama ini sebagian besar terbakar. Tidak ada yang tersisa dari gereja pertama ini sekarang.

Gereja Kedua

Gereja kedua diresmikan pada 10 Oktober 415 atas perintah Kaisar Theodosius II. Basilika ini memiliki atap kayu dan dibangun oleh arsitek bernama Rufinus. Pada masa Kerusuhan Nika, gereja ini terbakar pada 13–14 Januari 532.




Sisa reruntuhan Hagia Sophia kedua

Beberapa balok marmer dari gereja kedua ini selamat sampai sekarang, beberapa di antaranya adalah relief yang menggambarkan dua belas domba yang mewakili dua belas rasul. Awalnya bagian dari salah satu pintu depan monumental, balok-balok itu sekarang berada di lubang penggalian yang berdekatan dengan pintu masuk museum setelah penemuan pada tahun 1935 di bawah halaman sisi barat oleh A. M. Schneider. Penggalian berikutnya tidak dilanjutkan karena takut merusak keutuhan bangunan.


Gereja Ketiga
Pada 23 Februari 532, hanya beberapa pekan setelah hancurnya basilika kedua, Kaisar Yustinianus I memerintahkan pembangunan gereja ketiga dengan rancangan yang lebih luas dan megah dari sebelumnya.
Pembangunan gereja yang digambarkan dalam naskah kuno Kronik Manasye (abad ke-14)

Yustinianus memilih ahli fisika, Isidore dari Miletus dan ahli matematika Anthemius dari Tralles sebagai arsitek. Tetapi Anthemius meninggal di tahun pertama pembangunan. Pembangunan ini dijelaskan dalam Tentang Bangunan-bangunan (Peri ktismatōn, Latin: De aedificiis) dari sejarawan Bizantium bernama Procopius. Tiang-tiang dan marmer lain didatangkan dari segala penjuru kekaisaran, di seluruh Mediterania. Pendapat bahwa tiang-tiang ini merupakan rampasan dari kota-kota seperti Roma dan Efesus dikemukakan belakangan. Meskipun tiang-tiang itu dibuat khusus untuk Hagia Sofia, namun ukurannya tampak bervariasi. Lebih dari sepuluh ribu orang dipekerjakan. Gereja baru ini secara serentak diakui sebagai karya arsitektur besar. Teori-teori Heron dari Aleksandria mungkin telah digunakan untuk mengatasi tantangan-tantangan yang muncul dalam membangun kubah luas yang membutuhkan ruang sedemikian besar.[butuh rujukan] Bersama dengan Patriark Menas, kaisar meresmikan basilika ini pada 27 Desember 537, lima tahun sepuluh bulan setelah pembangunan dimulai. Sedangkan mosaik yang terdapat di dalam gereja baru selesai pada masa Kaisar Yustinus II yang memerintah pada tahun 565–578 M.


Hagia Sophia menjadi pusat kedudukan Patriark Ortodoks Konstantinopel dan tempat utama berbagai upacara Kekaisaran Romawi Timur, seperti penobatan kaisar. Seperti gereja-gereja lain di seluruh dunia Kristen, basilika ini memiliki tempat perlindungan dari penganiayaan bagi para pelanggar hukum.


Pada 726, Kaisar Leo III mengeluarkan serangkaian keputusan yang melarang masyarakat untuk memberikan penghormatan kepada gambar-gambar, memerintahkan tentara untuk menghancurkan semua ikon, sehingga mengantar pada periode ikonoklasme Bizantium. Pada masa itu, semua gambar dan patung keagamaan disingkirkan dari Hagia Sophia. Setelah gerakan ini dibendung pada masa Maharani Irene yang memerintah pada tahun 797–802, ikonoklasme kembali merebak pada masa Kaisar Theophilos yang sangat dipengaruhi oleh seni rupa Islam, yang melarang penggambaran makhluk hidup. Theophilos membuat pintu-pintu perunggu bersayap dua, yang memperlihatkan monogramnya, di pintu masuk gereja bagian selatan.


Basilika ini mengalami kerusakan pertama kali dalam kebakaran besar tahun 859, dan kemudian saat gempa bumi pada 8 Januari 869, yang membuat sebagian kubahnya runtuh. Kaisar Basilius I memerintahkan agar gereja ini diperbaiki.


Pada masa pendudukan Konstantinopel pada Perang Salib Keempat, gereja ini dijarah dan dinodai oleh Tentara Salib, sebagaimana dijelaskan oleh sejarawan Bizantium Niketas Choniates. Pada masa pendudukan Latin di Konstantinopel (1204–1261), gereja ini berubah menjadi Katedral Katolik Roma. Baldwin I dimahkotai sebagai kaisar pada 16 Mei 1204 di Hagia Sophia, dengan upacara yang pelaksanaannya menggunakan kebiasaan Bizantium. Enrico Dandolo, Doge Republik Venesia yang memimpin pendudukan dan invasi terhadap Konstantinopel oleh Tentara Salib Latin pada 1204, dimakamkan di dalam gereja ini. Makam yang telah terukir namanya, yang menjadi bagian dari dekorasi lantai, diludahi oleh banyak masyarakat Romawi Timur yang merebut kembali Konstantinopel pada tahun 1261 M. Namun, saat restorasi yang dipimpin oleh Fossati bersaudara sepanjang tahun 1847–1849, timbul keraguan terhadap keaslian makam doge tersebut; tampaknya lebih seperti sebuah peringatan simbolis daripada situs pemakaman.


Setelah direbut kembali pada 1261 oleh bangsa Bizantium, gereja ini dalam keadaan bobrok. Pada 1317, Kaisar Andronikus II memerintahkan agar empat penopang (Πυραμὶδας, bahasa Yunani:"Piramídas") baru dibangun di sisi timur dan utara gereja, pembiayaannya menggunakan warisan dari almarhumah istrinya, Irene. Kubah gereja mengalami keretakan setelah gempa bumi bulan Oktober 1344, dan beberapa bagian bangunan runtuh pada 19 Mei 1346; alhasil gereja ini ditutup sampai 1354 saat perbaikan dilakukan oleh arsitek-arsiteknya, Astras dan Peralta.



Masjid
Sultan Mehmed Al Fatih bersama Patriark Gennadius II yang digambarkan pada mozaik abad kedua puluh Konstantinopel ditaklukkan oleh Utsmani pada 29 Mei 1453. Banyak catatan yang merekam kejadian itu, walaupun beberapa ditulis sekian lama setelah peristiwa tersebut terjadi dan masing-masing menyatakan sebagai catatan yang mendekati aslinya. Baik Yunani, Italia, Slavia, Turki, dan Rusia, semuanya memiliki versi mereka masing-masing yang mungkin sulit untuk disatukan. Salah satu versi cerita tersebut adalah yang ditulis sejarawan kontemporer Inggris bernama Steven Runciman yang dikenal karena bukunya yang berjudul A History of the Crusades.
Sultan Mehmed Al Fatih bersama Patriark Gennadius II yang digambarkan pada mozaik abad kedua puluh

Sesuai dengan kebiasaan, Sultan Mehmed II memberikan kebebasan bagi pasukannya untuk melakukan penjarahan selama tiga hari atas kota yang baru ditaklukkan, dan setelahnya ia akan mengklaim isi kota untuk dirinya. Hagia Sophia tidak dikecualikan dari penjarahan, dan menjadi titik fokusnya karena para penakluk meyakini bahwa di tempat itu mengandung harta terbesar dari seluruh kota. Tidak lama sesudah pertahanan kota runtuh, para penjarah bergerak menuju Hagia Sophia dan mendobrak pintunya. Sepanjang pengepungan, jamaah sedang berpartisipasi dalam Doa dan Liturgi Kudus di Hagia Sophia, dan gereja menjadi salah satu tempat perlindungan bagi banyak dari mereka yang tidak mampu berkontribusi dalam mempertahankan kota, seperti perempuan, anak-anak, dan orang tua. Karena terjebak di dalam gereja, jemaah dan para pengungsi menjadi sasaran para penakluk. Bangunan itu dinodai dan dijarah, dan penghuninya diperbudak, dicabuli atau dibunuh; orang-orang tua dan lemah dibunuh, perempuan dan anak-anak gadis diperkosa, yang lain dibelenggu dan dijual sebagai budak. Imam-imam terus melakukan ritual Kristen sampai dihentikan oleh para penakluk. Ketika Sultan dan anak buahnya memasuki gereja, ia menegaskan bahwa bangunan itu harus sekaligus diubah menjadi masjid. Salah seorang ulama kemudian naik ke mimbar dan membacakan Syahadat.

Pondok Sultan (Sultan Mahfili) di bagian dalam Aya Sofya, tempat sultan melakukan shalat jamaah tanpa diketahui jamaah lain


Pada hari ketiga penaklukan, Mehmed II memerintahkan agar penjarahan dihentikan dan mengirimkan pasukannya kembali ke luar dinding kota. Sejarawan Bizantium George Sphrantzes, yang bekerja di istana pada masa tiga Kaisar Romawi Timur terakhir (Manouel II, John VIII, dan Konstantinus XI), menjadi saksi mata jatuhnya Konstantinopel pada 1453, menjadi budak Utsmani namun dibebaskan tidak lama kemudian, menjelaskan tindakan sultan pada hari ketiga tersebut:

Air muncur (Şadırvan) untuk wudhu

“Pada hari ketiga setelah jatuhnya kota kami, Sang Sultan merayakan kemenangannya dengan megah dan meriah. Dia mengeluarkan pernyataan: para warga segala usia yang lolos dari deteksi dapat keluar dari tempat persembunyian mereka di seluruh kota dan keluar secara terbuka, mereka akan tetap bebas dan tidak akan diminta pertanyaan. Dia lebih lanjut menyatakan pemulihan rumah-rumah dan properti kepada orang-orang yang meninggalkan kota kami sebelum pengepungan, jika mereka kembali ke rumah, mereka akan diperlakukan sesuai pangkat dan agama mereka, seolah tak ada perubahan.”

Mihrab

Kemudian, Hagia Sophia diubah menjadi masjid kekaisaran. Walaupun begitu, keberadaan Gereja Kristen Ortodoks tetap diakui, sebagaimana dalam sistem millet Utsmani yang memberikan agama non-Islam kewenangan khusus dalam mengatur urusan masing-masing. Gennadius Scholarius lantas ditetapkan sebagai Patriark Konstantinopel pertama pada masa Utsmani, kemudian menetapkan kedudukannya di Gereja Rasul Suci, yang kemudian berpindah ke Gereja Pammakaristos.
Seperti dijelaskan oleh beberapa pengunjung dari Barat (misalnya bangsawan dari Kordoba bernama Pero Tafur dan Cristoforo Buondelmonti dari Firenze), gereja saat itu dalam keadaan bobrok, dengan beberapa pintu telah terlepas dari engselnya. Mehmed II memerintahkan perbaikan dan pengubahannya menjadi masjid. Mehmed menghadiri ibadah Jumat yang pertama kalinya di masjid pada 1 Juni 1453. Hagia Sophia menjadi masjid kekaisaran pertama di Istanbul. Pada wakaf yang bersangkutan dianugerahkan sebagian besar rumah yang saat ini berdiri di kota tersebut dan daerah yang kelak menjadi Istana Topkapı. Sejak tahun 1478, sebanyak 2.360 toko, 1.360 rumah, 4 karavanserai, 30 toko boza, dan 23 toko domba memberikan penghasilan mereka untuk yayasan tersebut. Melalui piagam kekaisaran tahun 1520 (926 H) dan 1547 (954 H), berbagai toko dan bagian dari Grand Bazaar dan pasar-pasar lain, juga ditambahkan ke dalamnya.


Sebelum 1481, sebuah menara kecil telah didirikan di sudut barat daya bangunan di atas menara tangga. Kemudian Sultan Bayezid II (1481–1512), membangun menara lain di sudut timur laut. Salah satu dari menara itu runtuh setelah gempa bumi di tahun 1509, dan sekitar pertengahan abad keenam belas keduanya diganti dengan dua menara yang dibangun di sudut timur dan barat bangunan.
Pada abad keenam belas, Sultan Suleiman Al Kanuni membawa dua batang lilin kuno dari penaklukannya atas Hungaria dan ditempatkan mengapit mihrab. Pada masa Selim II, dikarenakan mulai menunjukkan tanda-tanda kerapuhan, Aya Sofya diperkuat dengan dukungan struktural untuk bagian luar. Proyek ini dikepalai arsitek Utsmani saat itu, Mimar Sinan, yang juga dikenal sebagai salah satu insinyur gempa pertama di dunia. Untuk memperkuat struktur bersejarah Bizantium ini, Sinan membangun dua menara besar di barat yang awalnya ruang khusus sultan, dan türbe (bangunan untuk makam di Turki) untuk makam Selim II di tenggara bangunan pada 1576-7 M / 984 H. Selain itu, lambang bulan sabit emas dipasang di atas kubah. Kemudian, makam ini juga menjadi makam bagi 43 pangeran Utsmani. Pada 1594 M / 1004 H Mimar (kepala arsitek) Davud Ağa membangun makam Murad III (1574–1595), tempat sultan dan permaisurinya, Safiye Sultan, putra, dan putri mereka dikebumikan. Bangunan makam persegi delapan putra mereka Mehmed III (1595–1603) dibangun arsitek kekaisaran Dalgiç Mehmet Aĝa pada 1608 / 1017 H. Di bangunan ini, dimakamkan pula Handan Sultan, selir Mehmed III yang menjadi ibu suri bagi putra mereka Ahmed I. Dimakamkan pula putra dan putri Ahmed I, putri dari Murad III, dan putra sultan lainnya. Putranya yang lain, Mustafa I (1617–1618; 1622–1623), mengubah bekas ruang untuk pembaptisan menjadi türbe-nya.

Murad III juga membawa dua guci besar Helenistik dari batu pualam dari Pergamum dan menempatkannya di dalam kedua sisi tengah bangunan.


Pada 1717, di bawah kepemimpinan Sultan Ahmed III (1703–1730), plester yang runtuh dalam interior bangunan direnovasi, secara tidak langsung berperan dalam kelestarian banyak mosaik, yang jika tidak dilakukan maka akan dihancurkan oleh para pekerja bangunan. Karena kenyataannya adalah hal biasa bagi mereka untuk menjual batu-batu mosaik – yang dipercaya sebagai azimat – kepada para pengunjung. Sultan Mahmud I memerintahkan perbaikan Aya Sofya pada 1739 dan menambahkan sebuah madrasah, imaret atau dapur umum untuk kaum miskin, dan perpustakaan. Pada tahun 1740, pondok sultan (sultan mahfili) dan mihrab baru ditambahkan di dalam bangunan



Museum

Kesultanan Utsmani runtuh pada November 1922 M dan digantikan oleh Republik Sekuler Turki. Presiden pertamanya, Mustafa Kemal Atatürk memerintahkan penutupan Aya Sofya pada 1931 M untuk umum, dan dibuka empat tahun setelahnya pada 1935 M sebagai museum. Karpet untuk ibadah shalat dihilangkan, plester dan cat-cat kaligrafi dikelupas, menampakkan kembali lukisan-lukisan Kristen yang tertutupi selama lima abad. Sejak saat itu, Aya Sofya dijadikan salah satu objek wisata terkenal oleh pemerintah Turki di Istambul.

Sebuah mozaik Yesus di Hagia Sophia

Penggunaan Aya Sofya sebagai tempat ibadah dilarang keras oleh pemerintah Turki yang berhaluan sekuler. Tetapi perintah itu melunak ketika pada 2006, pemerintah Turki mengizinkan alokasi khusus untuk sebuah ruangan doa Kristen dan museum Muslim staf dan sejak tahun 2013, muazin mengumandangkan adzan dari menara museum dua kali saat siang hari.

Wacana Terkini

Pada masa belakangan, wacana mengembalikan Aya Sofya menjadi tempat ibadah semakin ramai diperbincangkan. Pada tahun 2007, politikus Yunani, Chris Spirou mencanangkan gerakan internasional untuk memperjuangkan Aya Sofya kembali menjadi Gereja Ortodoks Yunani. Di sisi lain, beberapa seruan dari beberapa pejabat tinggi, khususnya Wakil Perdana Menteri Turki, Bülent Arınç, menuntut Aya Sofya untuk digunakan kembali sebagai masjid pada November 2013.

Pada bulan Ramadhan 1437 H / 2016, pemerintah Turki memulihkan beberapa fungsi Aya Sofya sebagai masjid kembali selama bulan Ramadhan. Ayat dari kitab suci Al Quran akan dibacakan di Aya Sofya setiap harinya pada bulan suci Ramadhan. Pembacaan dimulai sejak awal Ramadhan dan juga disiarkan secara langsung di saluran religi Turki TRT Diyanet, Selasa (07/06/2016). Hari Senin, pemerintah Turki mulai menyiarkan pembacaan Al Quran dan makan sahur, pada televisi nasional langsung dari Aya Sofya, yang sebelumnya difungsikan sebagai museum sejak sekularisasi Turki oleh Mustafa Kemal.

Langkah ini menuai kecaman dari beberapa pihak. Dalam pernyataan bersama, para pemimpin partai oposisi Yunani mengatakan bahwa langkah Ankara adalah tindakan provokatif. ”Menunjukkan rasa tidak hormat terhadap orang Kristen Ortodoks di seluruh dunia dan tidak sejalan dengan program Eropa-Turki,” bunyi pernyataan bersama itu, seperti dikutip dari Russia Today, Rabu (8/6/2016).



referensi :
https://id.wikipedia.org/wiki/Hagia_Sophia

Selasa, 16 Januari 2018

KRITIK ARSITEKTUR


Oleh : Naufal Hariz Imaduddin/4TB05/27314854

           Kritik Arsitektur merupakan salah satu mata kuliah yang dipelajari di bangku jurusan teknik arsitektur Universitas Gunadarma. Mata kuliah ini sangat penting, karena dapat melatih kepekaan seorang arsitek dengan keadaan lingkungan sekitarnya, terkhusus dalam dunia arsitektural. Saking pentingnya, salah satu biro arsitek yang di kelola oleh arsitek terkenal, Andi Rahman, mengharuskan setiap orang yang ingin bekerja pada biro konsultan beliau untuk mengkritisi sebuah bangunan secara spontan.

       Banyak sekali Arsitek-arsitek pemula yang lebih mengutamakan mengasah kemampuan software, namun jarang kita temukan sebagian dari mereka yang mengutamakan ketajaman pola pikir dan kepekaan mereka terhadap isu yang berkembang dari dunia arsitektural. Menurut Kafi Pangestu, salah satu alumni Arsitektur Universitas Gunadarma, Kritik Arsitektur merupakan mata kuliah penting yang dipinggirkan. Bagaimana tidak? Mata kuliah ini hanya memiliki pertemuan sebulan sekali.

           Untuk itu penulis disini mencoba mengkritisi bangunan yang ada di sekitar terlebih dahulu sebagai permulaan pembelajaran kritik arsitektur.


  Kampus F5 adalah salah satu kampus dari Universitas Gunadarma Depok yang berlokasi di Jalan Kapuk, Margonda. Sebagaimana mestinya bangunan pendidikan, kampus ini menyediakan sarana dan prasarana yang menunjang setiap kegiatan pembelajaran di bangku perkuliahan. Namun jika kita perhatikan, ada beberapa hal yang perlu dikritisi mengenai kampus F5 dari sudut pandang arsitektural. Beberapa hal tersebut adalah :

1.       Wajah Kampus F5



Sebuah bangunan yang baik, akan tercermin identitasnya dan peruntukan bangunan tersebut dari perwajahannya. Fasad, merupakan hal penting karena fasad menampilkan kesan pertama yang akan dilihat oleh manusia sekitar dan menjadi tolak ukur penilaian pertama dari seorang Arsitek. Kampus F5 berlokasi yang memiliki kontur yang cukup landai sehingga dapat dimanfaatkan sebagai penampilannya yang khas.

Sayangnya kita masih belum bisa menemukan ciri khas yang mencerminkan kampus F5 sebagai lokasi pendidikan tinggi. Belum adanya plang bertuliskan “Universitas Gunadarma” cukup membuat orang yang pertama kali datang bingung. Fasad dari kampus ini pun didominasi hanya dengan dinding ekspos. Namun, dengan adanya batuan ekspos sebagai fasad bagian bawah cukup memberikan estetika yang baik sebagai permulaan kesan alami yang diberikan secara visual.

                Fasad dari area dalam kampus pun demikian. Minimalis dan simpel kesan yang pertama kali penulis rasakan. Terlihat dari fasad yang didominasi dengan dinding ekspos dan railing di setiap lantainya.

                Namun untuk pemilihan warna yang diaplikasikan pada bangunan ini menurut penulis cukup baik. Warna soft cukup nyaman dipandang dan tidak menimbulkan kesan mencolok pada bangunan yang berdiri di tengah perkampungan Depok. Sehingga bangunan ini cukup beradaptasi dengan konteks yang ada di sekitarnya.

2.       Area Parkir

                Ketika memasuki kampus, bagi pengguna yang membawa kendaraan akan langsung berhadapan dengan ramp yang cukup landai. Kendaraan langsung melakukan manuver ke kiri 90 derajat untuk menuju ke area parkir. Hal ini tidak menjadi masalah ketika motor yang melaluinya. Namun cukup menjadi masalah bagi mobil. Selain karena sempitnya jalan, fillet yang diberikan cukup sempit. Untuk itu, problem solving yang diberikan pihak kampus adalah dengan menjadikan area parkir dalam sebagai area parkir motor, sedangkan mobil diberikan lahan parkir di pinggir kampus bagian luar.


                Hal ini dirasa sudah menyelesaikan permasalahan, namun penyelesaian ini justru menunjukkan kekurangan perhatian arsitek terhadap kebutuhan bangunan pendidikan tinggi yang notabenenya membutuhkan lahan parkir yang luas.


Bahkan setelah adanya pembedaan pada area parkir, parkiran motor pun masih kurang karena banyaknya motor yang digunakan oleh pengguna kampus. Tidak adanya perbedaan baik berupa garis batas ataupun material antara area parkir dengan jalan eksisting parkir membuat area parkir menjadi tidak beraturan. Selagi masih bisa ditampung maka kendaraan motor akan tertampung sedemikian rupa walaupun tidak beraturan.

3.       Mushola

                Adanya mushola merupakan alternatif fasilitas peribadatan umat Islam pada suatu bangunan jika dirasa masjid sekitar berada pada jarak radius yang cukup jauh. Nyatanya masjid sekitar kampus masih sangat dekat, kurang lebih berjarak sekitar 20 meter dari kampus. Namun mushola masih menjadi alternatif bagi petugas keamanan melaksanakan ibadah agar tidak pergi terlalu jauh dari area tugasnya.

                Namun beberapa hal yang perlu dikritisi dari fasilitas mushola kampus ini. Tempat mushola ini terkesan ditempatkan pada area sisa dari kampus. Bagaimana tidak, mushola berada di area lobby parkiran motor. Suara bising motor, asap rokok, dan berisiknya obrolan mahasiswa di area parkir dan lobby sangat mengganggu kekhusyukan sholat. Padahal notabenenya kita melaksanakan peribadahan agar dapat merasa tenang ketika kita berada dalam proses ibadah.






                Sebelum memulai sholat, seorang Muslim diharuskan untuk bersuci agar terhindar dari najis. Tempat wudhu merupakan bagian yang sangat perlu diperhatikan ketika mendesain area ibadah umat muslim. Nyatanya, tempat wudhu dari mushola “sisaan” ini berada di seberang mushola, yaitu ketika seseorang mau berwudhu dia harus mengambil air wudhu dengan melewati area pakir motor meggunakan sendal yang disediakan. Area wudhu pun turun menjorok ke arah sungai dan hanya menggunakan material pijak berupa perkerasan semen.

                Axis kiblat semakin menunjukkan tidak perhatiannya arsitek terhadap fasilitas mushola kampus. Axis kampus menmbuat kiblat menjadi miring ke kiri. Mudah saja hanya dengan memutar sajadah, namun apa bedanya dengan bangunan non arsitek jika penyelesaiannya hanya stop sampai disitu?

desain interior pada mushola juga menunjukkan tidak didesainnya mushola seperti ruangan-ruangan lainnya. Jika perhatian terhadap area intimasi terhadap Tuhannya saja tidak diperhatikan, maka bagaimana hubungan arsitek dengan Tuhannya?

4.       Lobby penerimaan area parkir

Lobby ini memiliki ketinggian yang cukup baik, sehingga ruangan terkesan luas. Desain tangga dengan letter L menambah keapikkan pada ruangan.


Ruangan seluas kurang lebih 4 x 5 meter tersebut sayangnya tidak termanfaatkan dengan baik. Ruang ini lebih sering kosong. Entah program ruang apa yang direncanakan oleh si arsitek untuk ruang ini.

5.       Railing
Kita sempat menyinggung railing pada pembahasan fasad, karena railing cukup mendominasi sebagai perwajahan kampus F5. Dari lobby penerima kita naik keatas, tidak ada masalah dengan railing yang ada di tangga. Ketika memasuki lantai pertama, pertanyaan muncul. Mengapa railingnya begitu tinggi?


   
Railing biasanya didesain dengan tinggi 0.8 – 1.1 meter, namun pada kampus F5 railing di desain dengan tinggi kurang lebih 1,65 meter, sehingga cukup mengganggu view. Namun walau begitu, railing terkesan kokoh dengan menggunakan hollow dan tidak terkesan berat dengan adanya celah-celah. Railing mampu membuat shading effect yang indah ketika paparan cahaya matahari menerpanya.


6.       Toilet

Bangunan dengan 6 lantai seperti F5, yang memiliki hiruk pikuk suasana kampus, yang memiliki pengguna atau civitas yang sangat banyak, ternyata hanya memiliki 2 toilet saja yang hanya bisa kita temukan di lantai 2. Itu pun 1 toilet dikhususkan untuk dosen dan para petinggi kampus. Maka hanya tersisa satu toilet yang bebas gender apa saja yang menggunakannya.




Menurut saya ini adalah problem yang sangat krusial. Bagaimana tidak, toilet yang merupakan kebutuhan setiap orang justru wadahnya tidak mendukung. Gender wanita memiliki privasi yang tinggi untuk urusan ini, namun toilet yang ada tidak menyediakan kebutuhannya. Baik pria maupun wanita menunggu antrian toilet di tempat yang sama.
Bahkan dalam segi utilitas, air yang digunakan sebagai pembersih kotoran pun tidak tersedia dengan baik. Air yang keluar cenderung keruh dan tombol kloset untuk menyiram kloset pun tidak bekerja dengan baik.


7.       Sirkulasi Vertikal

Kampus F5 merupakan bangunan tinggi dengan 6 lantai. Pengguna kampus tidaklah semua memiliki tubuh yang fit dan bugar sebagaimana mahasiswa pada umumnya yang mayoritas masih muda. Beberapa terdapat dosen yang sudah tua dan beberapa pengguna yang sulit melakukan aktifitas berjalan dengan mudah.





Dengan tingginya bangunan dan kebutuhan pengguna terhadap sirkulasi vertikal, seharusnya kampus ini sudah dapat menyediakan lift minimal bagi yang membutuhkan.








                Diatas merupakan kritik yang penulis lakukan, semata-mata bukan untuk menjatuhkan arsitek itu sendiri, melainkan hanya sebagai pembelajaran. Tulisan diatas sangat banyak kekurangan menunjukkan tidaklah penulis lebih baik dari arsitek desainernya. Jika ada salah kata mohon dimaafkan, kritik dan saran sangat diterima oleh penulis.